OLEH
: ASHHABUL YAMIN
Sejak awal penciptaan manusia di muka bumi ini, para
malaikat sudah menyatakan sikap kekhawatiran mereka akan adanya manusia-manusia
yang akan membuat kerusakan dimuka bumi dan saling menumpahkan darah. Namun
Alloh SWT dengan rahasia-Nya memang sudah merencanakan semua dengan sangat baik
dan indah. Hal ini diabadikan oleh Alloh dalam firman-Nya Al Qur’an Surah Al
Baqoroh ayat 30 yang artinya :
“Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “aku hendak menjadikan
khalifah di bumi”, mereka berkata, “apakah engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahu”.
Manusia dicipatakan dari tanah, dilengkapi dengan akal
dan hawa nafsu. Sedangkan malaikat diciptakan dari nuur (cahaya) tanpa hawa
nafsu. Hawa nafsu inilah yang menjadi pembeda manusia dengan malaikat, dimana
malaikat hanya dilengkapi dengan akal, tanpa hawa nafsu. Inilah rahasia Alloh
yang mengetahui segala yang tidak diketahui oleh mahluk ciptaan-Nya.
Pada pembahasan kali ini kita akan secara khusus membahas
tentang hawa nafsu. Bagaimana cara memposisikannya, lalu kemudian bagaimana
cara pengendaliannya.
Sesuatu yang baik sekalipun, jika salah cara kita
memposisikannya dan mengendalikannya, maka tidak akan baik dampaknya bagi kita.
Namun sesuatu yang buruk sekalipun, jika benar cara kita memposisikannya dan
mengendalikannya, maka akan berdampak baik bagi kita. Hal ini mirip seperti
bagaimana cara pandang kita terhadap sampah misalnya. Orang yang memposisikan
sampah dengan cara pandang yang kurang tepat, maka sampah tersebut akan menjadi
masalah dalam hidupnya, namun orang yang memposisikan sampah dengan cara
pandang yang baik, maka sampah tersebut bukan menjadi masalah buat hidupnya,
namun justru akan menjadi berkah bagi hidupanya. Bukankah sudah sekian banyak
orang-orang yang sukses justru dari sampah? Disaat orang-orang menganggap
sampah sebuah masalah, namun disaat yang bersamaan ia justru menganggap sampah
sebagai sebuah keberkahan.
Berbicara tentang hawa nafsu, mirip seperti ketika kita
memiliki sebuah pakaian. Ada sebuah pertanyaan, Ketika pakaian kita kotor, yang
kita lakukan apakah membuang pakaiannya atau membersihkan kotoran pada pakaian?
Jawabannya tentu memebersihkan kotorannya. Jika setiap pakaian kita kotor, lalu
kita buang pakaiannya, kotor lagi, buang lagi, lalu kapan selesainya
permasalahn itu. Inilah keindahan rencana Alloh menciptakan manusia dengan hawa
nafsu, yang menurut logika sederhana kita, ketika manusia diciptakan dengan
hawa nafsu, maka manusia berpotensi untuk selalu berbuat kesalahan. Namun bukan
seperti itu cara berfikirnya. Berfikirlah seperti cara kita membersihkan noda
dan kotoran yang ada pada pakaian kita yang kotor.
Jika kita mengakaji tentang hawa nafsu dalam Al Qur’an
surah Asy-syams Alloh SWT sudah menjelaskan tentang keberadaan hawa nafsu dalam
jiwa manusia, bagaimana cara memposisikannya dan bagaimana cara
mengendalikannya.
“dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)”. (QS.91:7)
“maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakawaannya”.
(QS.91:8)
“sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (QS.91:9)
“dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:10)
Dalam ayat tersebut diatas sudah dengan sangat jelas
Allah sampaikan kepada kita tentang keberadaan hawa nafsu, bagaimana cara
memposisikannya dan sekaligus bagaimana cara mengendalikannya. Dalam hal ini,
saya akan mencoba menguraikannya satu persatu.
1) Keberadaan
Hawa nafsu dan bagaimana cara memposisikannya
Mari sejenak kita foluskan perhatian kita
kepada ayat 8-nya (delapan-nya), kata “fujur”
disana berarti kefasikan, kesalahan, kekeliriuan atau jalan yang salah.
Sedangkan kata “takwa” berarti jalan
ketakwaan, yang merupakan lawan dari jalan kefasikan itu sendiri.
Kata “fujur” yang
berarti kefasikan atau jalan kesalahan adalah segala ucapan maupun perbuatan
yang dilarang dan bahkan diharamkan oleh Alloh SWT. Jika kita sederhanakan
kedalam bentuk sifat-sifat, maka “fujur” dapat
berbentuk marah, dusta, sombong, dsb. Dengan demikian dapatlah kita posisikan
bahwa “fujur” adalah sifat-sifat yang
tidak baik yang bersemayam dalam diri kita untuk kita cari penawarnya. Untuk
kita cari cara penyuciannya.
2) Bagaimana
cara mengendalikannya
Untuk
membahas bagaimana cara mengendalikannya, mari kita fokuskan perhatian kita
pada ayat 9-nya (Sembilan-nya), “sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (QS.91:9).
Ketika kita sudah memposisikan dan memahami
bahwa “fujur” itu dapat berbentuk
marah, dusta, sombong, dsb, maka kita tinggal mencari lawannya, yakni lawan
dari sifat “fujur” tersebut yang bisa
meredamnya, yang membersihkannya. Kita dapatkan marah sebagai “fujur”, maka lawannya adalah sabar.
Sehingga ketika kita dapati orang yang marah tehadap kita, maka cara gampangya
adalah tinggal kita cari saja apa lawan dari marah tersebut, yakni sabar. Hadapi
marah tersebut dengan kesabaran, maka itu justru lebih cepat menyelesaikan
masalah. Bukankah banyak masalah besar sekalipun yang mampu diselesaikan dalam
hitungan menit dengan kesabaran. Dan banyak juga masalah yang sepele namun
bertahun-tahun tidak kunjung selesai hanya karena kesalahan dalam memposisikan
dan memhamai “fujur” atau hawa nafsu
ini.
Perhatikanlah apa yang telah dicontohkan oleh
Rasululloh SAW ketika ia dilempari dengan batu di thaib, kemudian datanglah
Jibril menawarkan untuk membalas orang-orang yang melemparinya tersebut dengan
menimpakan bukit yang ada disebelahnya, namun apa jawaban Rasulullah SAW,
beliau menjawab : “tidak usah ya Jibril,
sesungguhnya mereka melakukan itu karena mereka tidak tau”. Lihatlah
jawaban dari kekasih Alloh ini. Mampu bersabar terhadap orang-orang yang telah
melakukan kekerasan terhadapnya hanya dengan jawaban yang sederhana. Perilaku
seperti ini tidak akan mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak paham dan
mampu memposisikan hawa nafsunya dengan baik.
Jika kita dapati orang yang berlaku sombong,
maka tinggal kita cari saja lawan dari sombong tersebut, yakni rendah hati.
Kita pahami dan kembalikan kepada “takwa”
bahwa tidak akan masuk syurga orang-orang yang ada dalam hatinya sifat sombong
walau sebesar biji zarrah. Dan harus kita ketahui bahwa Iblis dilaknat dan
diusir oleh Alloh dari syurga bukan karena korupsi, bukan juga mencuri, namun
karena ada sifa sombong dalam dirinya. “Dan
(ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada
Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan sombong dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS.2:34)
Yakinlah jika kita mampu memposisikan hawa
nafsu ini, maka hidup kita akan terasa enteng. Ada orang yang sombong pada
kita, maka cepat cari lawannya, yakni rendah hati. Istri atau suami marah pada
kita, maka cepat cari lawannya, yakni sabar. Maka selesailah masalah itu,
entenglah hidup itu. Akan berbeda kemudian, jika ada orang yang sombong pada
kita, kitapun balas dengan sombong, ingat,, datas langit ada langit, maka tidak
akan kunjung selesai masalah itu. Dan hiduppun terasa menjadi berat, tidak
tenang, dan selalu gelisah.
Sahabat fillah yang dimuliakan Allah, teorinya tentu
mudah, adapaun prakteknya tentu pelan-pelan akan kita ikhtiarkan. Semoga kita
sekalian diberikan kemudahan dan kekuatan dalam melakukan “zakka” yakni penyucian jiwa kita yang sudah pada fitrahnya terdapat
“fujur” dan “takwa” didalamnya. Amin ya Robbal alamin.
Luar biasa... Dengan contoh2 perumpamaan yg sederhana bisa membawa kita memahami apa itu nafsu.
ReplyDeleteAlangkah baiknya lagi kalau penjelasan tentang nafsu ini dijelaskan juga menurut versi tasawuf atau ajaran sufi.. Untuk memperkaya wawasan kita kaitannya dengan pensucian jiwa atau tazkiatun nafs..
Terima kasih saudaraku, masukan dan saran yang seperti yang kami harapkan...semoga bermanfaat
Delete