OLEH
: ASHHABUL YAMIN
Alhamdulillah, tiada henti-hentinya kita bersykur kepada
Alloh SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita sekalian,
terutama sekali nikmat iman dan islam, nikmat sehat wal afiyah, dan nikmat
kesempatan, serta nikmat-nikmat lainnya yang tidak bisa terhitung jumlahnya.
Sekali lagi Alhamdulillah wa syukurillah, Alhamdulillah ala kully hal kita
masih diberikan kesempatan bermuwajhah, berjumpa, dan bersilatirrahmi disini
dalam ruang blog kami yang insyaallah didalamnya kita akan saling mengingatkan,
kita akan saling menuntun menuju jalan ketaqwaan dan ketaatan kepada Alloh SWT.
Kita berdo’a kepada Alloh SWT agar jiwa kita senantiasa teguh diatas jalan
agamaNya yang lurus yaitu dinul Islam, kita juga memohon kepadaNya agar
ditanamkan keikhlasan, kesabaran, dan istiqomah didalam hati kita, “Allohumma ya muqollibal qulub tsabit
qulubana ala dinika wa thoatika”.
Sahabat fillah yang dirahmati Alloh. Dalam tulisan kali
ini, kita akan secara khusus membahas tema tentang “Membina Tali Silaturrahmi”.
Sebuah tema yang cukup klise. Sebuah teman yang mungkin saja membosankan bagi
sebagian orang, karena tema silaturrahmi sering diualang-ulang dibahas di
majelis-majelis pengajian, yang bukan tidak mungkin ada sebagian orang yang
bergumam, “ah,,,itu-itu saja yang
disampaikan”. Namun bagi kami tidak ada yang klise dalam nasehat, tidak ada
yang klises dalam saling mengingatkan. Semakin sering kita dinasehati dan
diingatkan, maka akan semakin sejuk, kuat dan teguh jiwa kita seolah-olah
baterai hp yang baru saja dicharge. Begitupun juga sebaliknya, jika jiwa kita
jarang menerima nasehat atau bahkan enggan menerima nasehat, makan yang terjadi
adalah gersang didalam jiwa, kebodohan yang cenderung membawa kepada
kesombongan. Merasa diri sudah cukup, merasa diri paling bisa dan paling
pintar, bahkan merasa diri paling benar. Wana’udzubillahimindzalik.
Sahabat fillah yang dimuliakan Alloh. Membina tali
silaturrahmi adalah konsekuensi logis dari keimanan kita kepada Alloh SWT dan
hari akhir, sebagimana sabda nabi SAW, “wamankana yu’minubillahiwal yaumil
akhir falyashilu rohimahu” dan barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari
akhir, maka sambunglah tali silaturrahmi. Hadist ini secara tegas menyampaikan
peringatan kepada kita bahwa orang yang memutus tali silaturrahmi berarti
secara tidak sadar ia tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir. Sebuah
peringatan yang keras datang dari baginda nabi SAW. Bahkan nabi SAW juga
memberikan batas limit waktu bagi orang yang dalam amarah terhadap saudaranya
untuk tidak saling bertegur sapa selama 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam, jika ada orang
yang tidak saling bertegur sapa selama 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam kemudian ia
meninggal dunia, “dakholannar”, maka
masuklah ia kedalam neraka. Wana’udzubillahimindzalik.
Sahabat fillah rahimakumulloh. Membina tali silaturrahmi
adalah salah satu asbab ringannya sakratul maut seseorang. Bagi orang-orang
yang memutus tali silaturrahmi, maka baginya sakratul maut yang teramat berat
dan sukar. Sebuah kisah sesorang yang berat dan sukar sakratul mautnya, kisah
ini disampaikan oleh salah seorang murid Al mughfurulloh Maulana Syeikh TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang sempat mengaji di ma’had Pancor. Beliau
menyampaikan pada suatu waktu beliau dipercaya merukyah seorang yang sedang
sakit dan sakratul maut yang sangat berat dan sukar. Beliau menanyakan kepada
anak-anak orang yang sakit ini, apa yang telah terjadi pada orang tua plungguh?
Mereka kemudian menjawab, yang pertama ada saudaranya nun jauh disana yang
telah putus tali silaturrahminya. Kemudian yang kedua ada tetangganya yang
sudah sekian lama pula ia tidak bertegur sapa. Maka sang ustadz berkata, jika
demikian, maka bersegeralah memintakan maaf atas orang tua plungguh kepada
saudaranya yang jauh dan tetangganya tersebut. Kemudian dilaknsakanlah saran
ustadz tersebut oleh para keluarganya. Setelah permohonan maaf ditunaikan dan
tali silaturrahmi disambungkan oleh keluarganya, maka dengan rahmat dan izin
Alloh ringanlah sakratul maut orang tersebut.
Sahabat fillah yang dirahmati Alloh. Ketika seorang
muslim berjumpa dengan saudaranya sesama muslim, disunnahkan baginya untuk
bertegur sapa dengan saling mengucapkan salam dan berjabat tangan atau
bersalaman. Coba kita perhatikan kondisi masyarakat kita belakangan ini,
sudahkah budaya syra’I seperti kita laksankan, jawabannya tentu saja bisa iya
bisa tidak, atau mungkin kebanyakan hanya sebatas bertegur sapa. Tapi itupun
sudah cukup, daripada kemudian berjumpa malah tidak saling bertegur sapa.
Meskipun adakalanya kita boleh tidak bertegur sapa dengan alasan yang syar’i.
Misalnya saja kita boleh tidak menegur orang yang tidak shalat, orang tidak
berpuasa, orang yang tidak membayar zakat, atau singkatnya orang membangkang
atas perintah Alloh SWT. Orang seperti ini boleh dan dianjurkan untuk tidak
kita tegur. Disinilah letak kehebatan para alim ulama. Al ulama’ warosatul anbiya, para ulama’ adalah pewaris para nabi.
Ulama’ memiliki pikiran yang visioner. Mereka mampu melihat kedepan tentang apa
yang dibutuhkan ummat dimasa mendatang mereka bisa memahaminya. Ketika tidak
memungkinkan lagi kita saling mengucapkan salam dan berjabat tangan ketika
berjumpa. Maka shalat berjamaahlah menjadi perjumpaan kita dengan saudara kita,
selesai shalat kita bermusafahah sambil mengucapkan shalwat atas nabi SAW. Ma yaltaqiyani minal muslimaini
falyatoshofahani ghufirolahu ayyatafarroqu, berjumpanya kedua orang muslim
kemudian mereka berjabat tangan/ bersalaman, maka diampuni dosanya sebelum
terlepas salamannya.
Sahabat fillah yang dirahmati Alloh. Berjabat tangan atau
bersamalan dapat memusnahkan dendam dalam jiwa, dengki dan iri dalam hati.
Ketika kita sudah bersalaman dengan saudara kita, maka meskipun kita tidak
mengucapkan kata maaf, secara langsung dengan jabat tangan tersebut sudah
menyatukan hati kita untuk saling memaafkan. Maka hati orang-orang yang sudah
berjabat tangan akan cair dalam kasih sayang, dalam ikatan persaudaraan yang bukan
saja terikat oleh darah tapi juga terikat oleh satunya iman.
Comments
Post a Comment